Peluh membasahi wajah Imam (32). Sesekali, setumpuk koran di tangan kiri diletakkan lalu ia menyeka keringat di muka dan dahinya.
Melihat kapal feri mendekat ke bibir Pelabuhan Ujung, Imam langsung menyambar tumpukan koran dan melompat masuk ke kapal. Dengan penuh sapa dan keramahan, ayah dua anak ini pun langsung menawarkan koran pada para penumpang kapal yang hendak menapakkan kaki mereka ke daratan Surabaya.
Sudah enam tahun Imam menghidupi dua anak dan satu istrinya dengan bekerja sebagai loper koran di Pelabuhan Ujung. Setiap hari Imam mendapatkan penghasilan antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000.
Satu minggu terakhir, Imam tampak resah membaca berita di media cetak tentang rencana beroperasinya Jembatan Suramadu sekitar dua bulan mendatang. Yang paling mengkhawatirkan, tarif tol di Suramadu diberitakan akan lebih murah dibandingkan tarif penyeberangan Ujung-Kamal.
"Penyeberangan Ujung-Kamal pasti akan sepi. Masih bingung mau cari kerja apa nantinya," tutur lelaki asal Sampang, Madura, ini.
Kebingungan juga dialami Safii (50) yang sudah 25 tahun bekerja sebagai buruh angkut di Pelabuhan Ujung. Padahal, mata pencaharian ini menjadi satu-satunya penghidupan tiga anak serta seorang istrinya.
Selain pedagang, keluhan juga muncul dari pengusaha feri. Mereka mengeluhkan ketidakjelasan sikap pemerintah, termasuk proteksi terhadap nasib usaha penyeberangan Ujung-Kamal, setelah selesainya Jembatan Suramadu. Jika tak ada kejelasan, operator penyeberangan akan hengkang dan mengalihkan rute penyeberangan itu ke tempat lain.
Ketua Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Jawa Timur Bambang Harjo S mengatakan, risiko terbesar yang muncul dengan pemindahan rute penyeberangan adalah hilangnya pekerjaan ribuan tenaga kerja. "Sekitar 2.000 karyawan penyeberangan Ujung-Kamal berpotensi kehilangan pekerjaan mereka. Sedangkan 6.000 orang yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan, menjadi sopir, pedagang hingga ojek juga bernasib sama, ucapnya.
Kebanggaan dan kekhawatiran
Pemerintah berharap, pembangunan Jembatan Suramadu dengan nilai investasi sekitar Rp 4,5 triliun memberikan harapan bagi masyarakat Pulau Madura. Setidaknya, Departemen Pekerjaan Umum sejak awal tahun 2008 konsisten tak akan membebankan penggantian nilai investasi triliunan rupiah itu kepada masyarakat.
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, operasional Jembatan Suramadu akan mengadaptasi jalan tol berupa pungutan tiket dengan tarif tertentu. Namun, hasil pungutan tersebut hanya untuk kebutuhan pemeliharaan dan operasional jembatan.
Bagi Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto, pengoperasian Jembatan Suramadu tidak sekadar membuka akses mobilitas ke Pulau Madura, tetapi juga membuka lebar proses industrialisasi di Pulau Garam ini. Harapannya, proses industrialisasi tidak memarjinalkan penduduk lokal.
Pengembangan industri di Pulau Madura harus ramah terhadap profil tenaga kerja lokal dan sekaligus mengembangkan sumber daya manusia setempat. Ini merupakan solusi tepat untuk mencegah tingginya tingkat urbanisasi penduduk Madura ke pulau lain, kata Bagong.
Menurut Bagong, pembangunan Jembatan Suramadu jangan sekadar dipahami dari aspek ekonomis semata. Namun, proyek ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab moral negara untuk menyediakan fasilitas umum dan kesempatan kerja bagi masyarakat.
dikutip dari kompas.com
Suramadu, antara Kebanggaan dan Kekhawatiran
4/06/2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar